Hukum Sedekah Uang Riba /Bunga Bank Untuk Masjid?
Dengan mengambil pendapat ulama yang membolehkan mengambil riba di bank, pertanyaan selanjutnya, bolehkan menyalurkan riba tersebut untuk kegiatan sosial keagamaan, seperti membangun masjid, pesantren atau kegiatan dakwah lainnya?
Baca Juga : Cara menghitung zakat mal yang praktis
Pendapat pertama, tidak boleh menggunakan uang riba untuk kegiatan keagamaan. Uang riba hanya boleh disalurkan untuk fasilitas umum atau diberikan kepada fakir miskin. Pedapat ini dipilih oleh Lajnah Daimah (Komite tetap untuk fatwa dan penelitian) Arab Saudi. Sebagaimana dinyatakan dalam fatwa no. 16576.
Pendapat ini juga difatwakan Penasihat Syariah Baitut Tamwil (Lembaga Keuangan) Kuwait. Dalam fatwanya no. 42. Mereka beralasan mendirikan masjid harus bersumber dari harta yang suci. Sementara harta riba statusnya haram.
Pendapat kedua, boleh menggunakan bunga bank untuk membangun masjid. Karena bunga bank bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat. Jika boleh digunakan untuk kepentingan umum, tentu saja untuk kepentingan keagamaan tidak jadi masalah. Di antara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Abdullah bin Jibrin. Sebagaimana dikutip dalam Fatawa Islamiyah, 2:885
Perlu diperhatikan bahwa bunga bank yang ada di rekening nasabah, sama sekali bukan hartanya. Karena itu, dia tidak boleh menggunakan uang tersebut, yang manfaatnya kembali kepada dirinya, apapun bentuknya. Bahkan walaupun berupa pujian. Oleh sebab itu, ketika Anda hendak menyalurkan harta riba, pastikan bahwa Anda tidak akan mendapatkan pujian dari tindakan itu. Mungkin bisa Anda serahkan secara diam-diam, atau Anda jelaskan bahwa itu bukan uang Anda, atau itu uang riba, sehingga penerima yakin bahwa itu bukan amal baik Anda.
Dapat disimpulkan bahwa bunga bank itu riba dan hukumnya haram, sehingga itu bukan hak kita dan tidak boleh kita konsumsi. Adapun jika diambil untuk disedekahkan boleh. Hanya saja harta riba itu akan dimanfaatkan untuk fasilitas umum yang bisa digunakan oleh banyak orang. Hukum sedekah uang riba juga pernah dibahas juga oleh ustad Abdul shomad:
“Riba itu haram, kotor sehingga seseorang tidak bisa mencuci pakaian najis menggunakan air kencing yang najis agar pakaian tersebut menjadi suci. Yang dapat digunakan untuk mensucikan pakaian najis hanyalah air yang dapat mensucikan.”
Uang haram dipakai untuk ibadah haji, maka hajinya tidak diterima oleh Allah SWT dan tidak akan pernah menjadi haji yang mabrur.
“Islam mengajarkan bersih awalnya, bersih tengahnya, bersih ujungnya,” jelas Ustadz Abdul Somad.
Dengan demikian tidak ada lagi alasan seseorang sengaja menghasilkan uang haram untuk niat sedekah di jalan Allah, karena Allah tidak akan menerimanya.
Baca Juga: Cara menghitung zakat penghasilan
https://konsultasisyariah.com/ dan rumaysho.com
Ustadz, kemanakah saya harus menyalurkan uang hasil riba yang saya dapatkan dari bunga bank? Saya bingung, jika bunga itu saya ambil itu haram dan hendaknya diapakan, namun jika tidak saya ambil khawatir malah menguntungkan bank. Mohon sarannya. Terimakasih.
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Sebelumnya kami mengucapkan, semoga Allah memberkahi keluarga serta harta Anda. Kami merasa ikut senang sekaligus bangga atas semangat Anda dalam usaha mengetahui hukum riba dan cara mengelola harta agar barokah dan halal. Di saat banyak manusia hari ini yang tidak memperdulikan dari manakah harta mereka dapatkan, apakah dari jalan yang halal atau haram? Persis dengan sabda Nabi saw:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram”. [HR Bukhari].
Semoga Allah Ta’ala semakin menambahkan keimanan dan hidayah-Nya kepada Anda serta membukakan pintu-pintu rizqi yang halal nan berkah.
Riba adalah kejahatan yang berakibat dosa besar Dan mendapat ancaman keras dari Allah swt, diantaranya firman Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٢٧٨ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٩
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah :278-279).
الرّبَا ثَلاَثَةٌ وَ سَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ وَ إِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ المُسْلِمِ
“Riba itu ada 73 pintu, yang paling ringan, seperti orang yang berzina dengan ibunya. Dan riba yang paling riba adalah kehormatan seorang muslim.” (HR. Hakim 2259 dan dishahihkan Adz-Dzahabi).
Sikap Anda yang berusaha berlepas diri dari riba serta ingin lepas dari jerat-jeratnya merupakan Sikap seorang Muslim yang taat beragama. Dan kita memang berkewajiban untuk melepaskan harta riba, dan tidak dibenarkan untuk menggunakannya, baik dimakan atau digunakan untuk kepentingan lainnya.
Para ulama bersepakat bahwa harta yang didapatkan dengan Cara yang haram maka harta itu hukumnya haram digunakan dan haram untuk dimakan. Berdasarkan sabda Nabi saw:
إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya”. [HR Ahmad dan Ad Darimi].
Namun mereka berbeda pendapat tentang dikemanakan harta riba yang terlanjur kita peroleh?
Secara umum pendapat ulama’ terbagi menjadi dua kelompok besar:
Pertama: Mereka berpendapat; harta riba yang terlanjur kita dapatkan harus diinfaqkan dalam kepentingan masyarakat umum dan yang tidak terhormat, semacam pembangunan jalan raya, jembatan, jamban umum atau yang serupa. Tidak dibenarkan untuk membangun masjid, atau diberikan kepada faqir-miskin.
Kedua: mereka berpendapat harta riba dapat disalurkan pada kegiatan-kegiatan sosial yang kegunaannya dirasakan oleh masyarakat umum, misalnya untuk pembangunan madrasah, rumah sakit, panti dll, atau yang hanya dirasakan oleh sebagian orang saja. Misalnya dibagikan kepada fakir-miskin.
Dari kedua pendapat ulama di atas, pendapat kedua inilah yang lebih kuat, karena beberapa alasan berikut:
Harta ini haram bagi pelakunya dan tidak haram bagi orang lain yang mendapatkannya dengan jalan-jalan yang dibolehkan syariat (hadiah, jual-beli, shadaqah, pemberian dll). Sebab hukum asal dzat bendanya adalah halal. Dan juga berdasarkan kaidah sebagian ulama’ ahli fiqih:
تَغَيُّرُ أَسْبَابِ المِلْكِ يُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ تَغَيُّرِ الأَعْيَانِ
“Perubahan metode memperoleh suatu benda dihukumi sebagai perubahan benda tersebut.”
Jadi jika harta riba itu diberikan kepada fakir-miskin atau orang lain yang membutuhkan, berarti harta itu berpindah kepada mereka dengan cara-cara yang dibenarkan, bukan dengan cara riba yang haram. Sebab dahulu Nabi saw tetap berniaga (jual-beli dan akad lainnya) dengan orang-orang Yahudi, padahal beliau mengetahui bahwa kaum Yahudi mendapatkan sebagian hartanya dengan jual-beli babi, khamer, serta melakukan praktek riba.
Jadi kesimpulannya harta hasil haram (riba) tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi, akan tetapi hendaknya disalurkan untuk kepentingan sosialisasi dan maslahat umum.
Adapun bunga bank, silakan diambil namun penggunaanya seperti penjelasan di atas, jangan ditinggal dan tidak diambil, karena jika tidak diambil akan menguntungkan bank dan semakin menguatkan eksiatensi bank ribawi, sedangkan kita dilarang ikut tolong-menolong dalam dosa. Wallahu a’lam bishshawab.
Riba sudah jelas haramnya. Namun saat ini harta riba begitu samar bagi sebagian orang. Walaupun digunakan nama bunga sekalipun, riba tetaplah riba. Lalu bagaimana jika kita memiliki harta riba tersebut? Yang jelas, harta tersebut adalah harta haram yang tidak boleh kita manfaatkan. Lalu di manakah disalurkan?
Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata,
“Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang), namun senyatanya bukan qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong dan berbuat baik. Transaksinya murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang dan akan diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri adalah keuntungan dari transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang namanya bunga bank yang diambil dari pinjam-meminjam atau simpanan, itu adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh sama-sama disebut riba.” (Lihat “Taysir Al Fiqh”, Syaikh Sholih bin Ghonim As Sadlan hal. 398, terbitan Dar Blancia, cetakan pertama, 1424 H).
Penjelasan selengkapnya mengenai ribanya bunga bank, silakan baca di sini.
Pemanfaatan Dana Riba
Sependek pengatahuan kami, para ulama sepakat bahwa harta riba tidak halal bagi seorang muslim untuk memilikinya dan dimanfaatkan sendiri. Ia harus mengambilkan pada sumber dana riba tersebut jika ia ketahui.
Jika tidak diketahui dari mana berasal harta tersebut, maka bagaimanakah dana tersebut disalurkan? Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama menyatakan bahwa dana riba tersebut disalurkan untuk yang berhak menerima menurut syar’i. Demikian pendapat jumhur ulama dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali.
Pendapat kedua menyatakan bahwa dana tersebut dijaga dan tidak boleh dimanfaatkan. Pendapat ini dinisbatkan pada Imam Syafi’i.
Pendapat jumhur ulama lebih kuat. Karena harta riba bisa ada tiga kemungkinan, ditahan (dijaga), dimusnahkan atau diinfakkan. Kalau harta riba tersebut dimusnahkan, maka itu sama saja membuang-buang harta. Kalau hanya disimpan atau dijaga saja, itu juga sama saja menyia-nyiakan harta tersebut, tanpa ada guna.
Di antara dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai luqothoh (barang temuan),
مَنْ وَجَدَ لُقَطَةً فَلْيُشْهِدْ ذَا عَدْلٍ – أَوْ ذَوَىْ عَدْلٍ – وَلاَ يَكْتُمْ وَلاَ يُغَيِّبْ فَإِنْ وَجَدَ صَاحِبَهَا فَلْيَرُدَّهَا عَلَيْهِ وَإِلاَّ فَهُوَ مَالُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
“Barangsiapa yang menemukan luqothoh maka saksikanlah pada orang yang baik, jangan sembunyikan dan menghilangkannya. Jika ditemukan siapa pemiliknya, maka kembalikanlah padanya. Jika tidak, maka itu adalah harta Allah yang diberina kepada siapa yang Dia kehendaki.” (HR. Abu Daud no. 1709, shahih kata Syaikh Al Albani).
Pembahasan tentang hukum riba di bank tidak dijumpai dalam buku fikih klasik. Karena ketika buku itu ditulis, bank-bank konvensional seperti sekarang belum ada. Untuk memahami berbagai masalah seputar bank, kita perlu merujuk kepada penjelasan ulama kontemporer, yang sempat menjumpai praktik perbankkan. Nah, hukum sedekah uang riba atau bunga bank ini bagaimana? akan kita ulas dalam artikel ini.
Hukum Mengambil Bunga Bank
Ulama sepakat bahwa bunga bank sejatinya adalah riba. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang hukum mengambil bunga tabungan di bank, untuk kemudian disalurkan ke berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.
Pendapat pertama, bunga bank wajib ditinggal dan sama sekali tidak boleh diambil. Di antara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin. Sebagaimana keterangan dalam banyak risalah beliau.
Suatu ketika Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 109/9. Ada yang menanyakan pada beliau rahimahullah:
“Bagaimana pendapatmu mengenai penghasilan seseorang dari amal ribawi baik melalui bank ribawi atau dari beberapa serikat? Lalu bagaimana cara membebaskan diri dari riba semacam ini? Apakah boleh hasil riba tersebut diberikan pada berbagai amalan kebaikan seperti pembangunan masjid dan semacamnya atau untuk melunasi utang pada sebagian kaum muslimin, memberikan pada kerabat yang membutuhkan atau mungkin harta riba semacam ini dibiarkan begitu saja, tidak diambil sedikit pun? Jazakumullah khoiron.
Beliau rahimahullah menjawab: Adapun jika harta riba tersebut belum diambil, maka harta tersebut tidak halal untuk diambil dan harta riba tadi harus dibiarkan begitu saja. Karena Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).” (QS. Al Baqarah: 278).
Maksudnya adalah tinggalkan sisa riba tersebut. … Siapa saja yang telah melakukan amalan ribawi, lalu dia tidak mengambil riba tersebut, maka dia wajib meninggalkan riba tersebut kemudian bertaubat pada Allah ‘azza wa jalla. Adapun jika seseorang telah mengambil riba tersebut karena tidak tahu bahwa itu riba dan tidak tahu bahwa riba itu haram, maka taubat akan menutupi kesalahan sebelumnya dan riba tersebut (sebelum datang larangan) telah menjadi miliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah,
فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan).” (QS. Al Baqarah: 275)
Adapun jika seseorang telah mengambil riba tersebut dan dia mengetahui bahwa riba tersebut haram, namun dia adalah orang yang lemah dalam hutang, sedikit ilmu, maka dia boleh bersedekah dengan riba tersebut. Bisa saja dia manfaatkan untuk membangun masjid, juga jika dia orang yang tidak mampu lunasi hutangnya, boleh untuk melunasi hutangnya, jika mau, boleh juga diserahkan pada kerabatnya yang membutuhkan. Ini semua adalah baik.
Pendapat kedua, dibolehkan mengambil bunga bank, untuk disalurkan ke kegiatan sosial kemasyarakatan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Ibnu Jibrin, ketika ditanya tentang hukum menyalurkan bunga bank untuk para mujahid. Setelah menjelaskan larangan menabung di bank kecuali darurat, beliau menegaskan,
“….dia boleh mengambil keuntungan yang diberikan oleh bank, semacam bunga, namun jangan dimasukkan dan disimpan sebagai hartanya. Akan tetapi dia salurkan untuk kegiatan sosial, seperti diberikan kepada fakir miskin, mujahid, dan semacamnya. Tindakan ini lebih baik dari pada meninggalkannya di bank, yang nantinya akan dimanfaatkan untuk membangun gereja, menyokong misi kekafiran, dan menghalangi dakwah Islam…” (Fatawa Islamiyah, 2:884)
Bahkan Syaikh Muhammad Ali Farkus dalam keterangannya menjelaskan, “Bunga yang diberikan bank, statusnya haram. Boleh disalurkan untuk kemaslahatan umum kaum muslimin dengan niat sedekah atas nama orang yang dizalimi (baca: nasabah). Demikian juga boleh disalurkan untuk semua kegiatan yang bermanfaat bagi kaum muslimin, termasuk diberikan kepada fakir miskin.
Karena semua harta haram, jika tidak diketahui siapa pemiliknya atau keluarga pemiliknya maka hukum harta ini menjadi milik umum, dimana setiap orang berhak mendapatkannya, sehingga digunakan untuk kepentingan umum. Allahu a’lam.
Ke Manakah Harta Riba Disalurkan?
Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.
Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).
Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.
Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Lebih-lebih lagi karena sebab kemiskinan adalah karena terlilit hutang riba, maka harta tersebut sebenarnya pantas untuk mereka. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta riba tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid.
Dalam rangka hati-hati, harta riba disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemilik harta riba tadi secara personal. Wallahu a’lam.
Semoga Allah menyelamatkan dan membersihkan kita dari harta haram. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi: Penjelasan Syaikh Kholid Mihna, http://www.almoslim.net/node/82772
Di antara tempat penyaluran dana riba dapat dibaca di sini.
@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 29 Dzulhijjah 1433 H
Dalam Islam, hukum judi jelas haram. Diibaratkan bahwa jika bersedekah dengan uang judi seperti mencuci kain dengan air kencing, bukannya bersih malah tambah kotor. Foto ilustrasi/ist
menggunakan uang judi? Dalam Islam, hukum judi jelas haram. Diibaratkan bahwa jika bersedekah dengan uang judi seperti mencuci kain dengan air kencing, bukannya bersih malah tambah kotor.
sendiri adalah amalan yang sangat mulia, bahkan sangat berpahala. Untuk mengamalkanya, harus dilakukan dengan cara yang baik dan mulia pula. Apalagi ini tentang harta, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
وَلَا تَاۡكُلُوۡٓا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ وَتُدۡلُوۡا بِهَآ اِلَى الۡحُـکَّامِ لِتَاۡکُلُوۡا فَرِيۡقًا مِّنۡ اَمۡوَالِ النَّاسِ بِالۡاِثۡمِ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah:188)
Para ahli tafsir mengatakan bahwa kata memakan yang ada pada ayat di atas merupakan penggambaran fenomena umum. Artinya, motivasi sebagian besar orang dalam memiliki harta adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya terhadap makanan. Jadi, penggunakan kata memakan pada ayat di atas bukan bertujuan membatasi keharaman pada memakan saja.
yang diperoleh dengan cara tidak benar mencakup seluruh jenis pemanfaatan. Seseorang yang memperoleh harta dengan cara yang tidak benar, baik itu judi, korupsi, mencuri dan sejenisnya, haram hukumnya memanfaatkan harta tersebut.
Seperti diungkap Ustadz Abdurrochim yang dilansir
, para ulama membagi sesuatu yang diharamkan dalam dua kategori: pertama, haram secara dzatnya. misalnya, daging babi, daging anjing, bangkai, darah dan sejenisnya. Kedua, haram secara hukum. Bisa jadi sesuatu itu halal secara dzat, hanya saja cara memperolehnya tidak sesuai dengan syariat maka haram pula mengkonsumsinya. Misalnya, buah-buahan hasil curian, uang hasil korupsi, uang hasil judi dan lain-lain. Allah Subhanahu wa ta'ala mengharamkan kedua jenis harta di atas.
Abu Mas’ud Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam melarang menerima bayaran jual-beli anjing, bayaran zina dan bayaran praktek perdukunan (sihir).”(HR Bukhari Muslim)
Hadis ini bisa menjadi landasan keharaman suatu harta yang diperoleh dengan cara yang tidak benar.
Lantas bolehkah kita bersedekah dengan harta yang diperoleh dengan cara tersebut? Tentang hal ini, Allah Subhanahu wa ta'ala menjelaskannya dalam Al-Qur'an:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡفِقُوۡا مِنۡ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّاۤ اَخۡرَجۡنَا لَـكُمۡ مِّنَ الۡاَرۡضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الۡخَبِيۡثَ مِنۡهُ تُنۡفِقُوۡنَ وَلَسۡتُمۡ بِاٰخِذِيۡهِ اِلَّاۤ اَنۡ تُغۡمِضُوۡا فِيۡهِؕ وَاعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰهَ غَنِىٌّ حَمِيۡدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (QS. Al-Baqarah:267)
Kemudian hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima sholat tanpa bersuci dan sedekah dari hasil korupsi (ghulul).” (HR An-Nasa’i)
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, Allah Subhanahu wa ta'ala tidak menerima sedekah harta yang diperoleh melalui cara yang tidak benar. Allah ta'ala hanya akan menerima sedekah harta yang berasal dari sumber yang halal.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pengasuh rubrik Konsultasi ZIS Majalah Peduli yang saya hormati. Saya mohon penjelasan, apakah boleh kita bersedekah atau berzakat menggunakan uang haram ? Kalau boleh, apakah bisa uang haram disucikan agar bisa menjadi halal dan bisa disedekahkan? Sekian, dan terimakasih atas jawabannya. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Misbahul Munir, Pasuruan, 08127845xxxx
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara Misbahul Munir yang terhormat. Dalam sebuah hadis diterangkan, bahwa Allah itu adalah Dzat yang baik, dan tidak menerima suatu ibadah atau suatu amaliah kecuali yang baik-baik saja. Karena itu, Allah tidak akan menerima sedekah atau zakat yang dibayarkan dengan dengan harta yang haram. Bahkan orang yang melakukan hal seperti ini, doa-doanya tidak akan diterima oleh Allah. Bahkan al-Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa ongkos pekerjaan yang berhubungan dengan maksiat itu pekerjaan haram adalah haram juga, dan mensedekahkannya juga tidak boleh dan tidak sah.
Al-Imam an-Nawawi dalam al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab juga menukil pendapat dari al-Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki harta yang haram dan ingin bertaubat, maka jika pemilik harta tersebut masih hidup, wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau wakilnya, dan jika pemiliknya sudah meninggal dunia maka harta tersebut diberikan kepada ahli warisnya, dan jika tidak diketahui pemiliknya, maka harta tersebut hendaknya dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum muslimin yang bersifat umum, semisal untuk membangun masjid.
Berdasarkan uraian di atas, berarti diperbolehkan membangun masjid dengan harta yang dihasilkan dari pekerjaan yang haram, seperti harta yang dihasilkan dari penjualan minuman keras, dan hal tersebut dilakukan bukan dalam rangka sedekah, namun sebagai bentuk taubat seseorang yang memiliki harta haram.
Kesimpulannya, bahwa tidak sah sedakah atau zakat dari harta haram. Kemudian jika si pelaku yang memiliki harta haram itu ingin bertaubat, maka harta tersebut harus dikembalikan pada pemiliknya atau wakilnya. Jika pemiliknya sudah wafat, maka serahkan pada ahli warisnya. Namun jika tidak ada, maka harta tersebut ditasarufkan pada kemashlahatan muslimin. Tasaruf ini tidak dikatakan sedekah, namun bentuk pembebasan diri dari harta haram tersebut. Selengkapnya, silakan merujuk pada kitab al-Minhaj Syarah Shahih Muslim (III/104), al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab (9/351), dan Ihya’ ‘Ulumuddin (II/91). Wallahu a’lam bish-shawab.
Halo Tribun Lampung. Saya pembaca setiamu. Saya ingin tanya apa hukumnya meminjami uang orang lain yang didapat dari hasil berjudi tapi punya niat ingin mengembalikannya? Terima kasih.
Pengirim: +6285669648xxx
Sebaiknya tidak usah meminjam uang dari sumber yang tidak jelas (hasil judi). Karena itu batil atau dilarang agama. Lebih baik meminjam di bank syariah yang sudah jelas sumbernya dan tidak ada riba.
H Mawardi ASKetua MUI Lampung (reny)
Kumpulan tanya jawab agama Islam (2) yang diajukan oleh pembaca alkhoirot.net.
Assalamualaikum Ustadz.,
ana mau bertanya Ustadz,tentang hukum halal haram.
Ana bergaul/ataupun menyewa tempat tinggal beramai-ramai alasan biar harga sewa murah.
tentu setiap kebiasaan pribadi berbeda-beda. Contoh teman Ana selalu suka membeli TOGEL/judi nombor slalunya tepat.
1. Ana tanyakan, Apakah hukum menerima makanan yg dibeli dng uang judi tersebut?
2. seandainya di tolak selalu mengatakan bahwa kita orang suci tak mau makan makanan hasil togel.
Salah satu cara untuk menjadi pribadi muslim yang lebih baik adalah memilih pergaulan yang kondusif yang dapat membawa kita pada standar etika dan moral yang lebih tinggi. Kecuali apabila kita memiliki pribadi dan komitmen keagamaan yang sangat kuat yang berniat untuk mempengaruhi lingkungan dan tidak kuatir dipengaruhi. Anda tampaknya termasuk golongan yang pertama yang sebaiknya mencari lingkungan pergaulan yang kondusif.
1. Hukum memakan makanan yang jelas berasal dari uang judi adalah haram. Dalam QS Al-Mukminun 23:51 Allah berfirman: يا أيها الرسل كلوا من الطيبات واعملوا صالحاً
Artinya: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam menjelaskan ayat di atas, dalam sebuah hadits sahih riwayat Muslim Nabi bersabda: إن الله طيب لا يقبل إلا طيباً، وإن الله تعالى أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين
Artinya: Allah itu baik dan tidak meneirma kecuali kebaikan. Sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sama dengan apa yang diperintahkan pada para Rasul.
Dalam QS Al Baqarah 2:172 Allah berfirman: يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.
Dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang memakan makanan haram maka doa dan ibadahnya tidak akan diterima.
Al Khirsi dalam Hasyiyah Al-Udwa menyatakan: ومن كان كل ماله من الحرام، فيحرم أخذ شيء منه، وكذا إذا عُلم أن طعامه اشتراه بعين الحرام
Artinya: Barangsiapa yang seluruh hartanya berasal dari harta haram maka haram pula mengambil sesuatu darinya. Begitu juga apabila diketahui bahwa makanan yang dibeli berasal dari uang haram.
Akan tetapi apabila uang atau harta yang dipakai untuk membeli makanan itu berasal dari uang campuran antara halal dan haram, maka hukumnya makruh memakan makanannya. Lebih detail lihat:
Pelaku dosa harus bertaubat dengan taubat nasuha. Baca detail:
2. Komitmen pada agama harus mengalahkan komitmen kepada teman. Bahkan pada orang tua sekalipun apabila mereka menyuruh berbuat yang buruk, maka perintah orang tua harus dilanggar.
____________________________________________________________
Ass. Ustadz saya mau tanya ,
apakah sah atau tidak apabila bernazar atau bersumpah di dalam hati tanpa diteguhkan atau diniatkan oleh hati sendiri dengan sebenar-benarnya , terimakasih
Nazar baru terjadi apabila diucapkan secara lisan. Apabila masih dalam hati maka nadzarnya tidak terjadi. Artinya, Anda tidak perlu memenuhi atau melaksanakan nadzar yang belum diucapkan dalam bentuk kata-kata. Lebih detail:
______________________________________________________________
Assalamualaikum wr.wb
Pak ustadz,,apakah dengan meminta maaf secara tulus dan ikhlas kepada orang yang bersangkutan, dosa kita kepada orang tersebut akan diampuni oleh Allah SWT,walaupun kita tidak mengungkapkan kesalahan kita satu persatu pada orang tersebut.
Wassalamualaikum wr.wb.
Haqqul adami (hak sesama manusia) ada dua kategori. Pertama, Hak yang terkait dengan harta benda yang dapat dilunasi atau dibayar seperti hutang, atau mencuri. Dalam kasus ini, maka hak-hak tersebut harus ditunaikan atau dipenuhi pada yang berhak.
Kedua, hak yang terkait dengan sesuatu yang tidak dapat dibayar/dilunasi seperti pernah ghibah (Jawa, ngerasani), pernah memfitnah, membohongi, pernah berkata buruk tentang dia, dll. Dalam kasus ini maka meminta maaf secara umum dengan tulus sudah cukup dan tidak perlu mengatakan kesalahan yang dilakukan secara detail. Ini adalah pendapat segolongan ulama yang mengatakan : وإن كان مما لا يستوفى كالغيبة والنميمة والكذب ونحو ذلك، فيكتفي بالدعاء له والاستغفار وذكره بخير
Artinya: Dosa/kesalahan yang tidak dapat dibayar/dilunasi seperti ghibah, memfitnah, berbohong terhadap seseorang, maka cukup dengan mendoakan, meminta maaf dan menyebut kebaikannya.
Namun pendapat jumhur ulama madzhab tetap mewajibkan menyebut kesalahan yang dilakukan selain meminta maaf sebagai syarat meminta maaf atas kesalahan pada manusia yang lain (hak adami) baik dapat dilunasi atau nonmateri. Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki, Syafi'i dan Hanafi). Dasar hukum yang diambil adalah hadtis sahih riwayat Bukhari
من كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه
Artinya: Barangsiapa mempunyai kesalahan pada saudaranya (sesama manusia) yang menyinggung harga diri atau harta maka hendaknya meminta maaaf (meminta dibebaskan). Apabila dia memiliki amal salih, maka amalnya akan diambil menurut kadar kesalahannya. Apabila dia tidak punya kebaikan, maka diambillah keburukan saudaranya itu menjadi tanggungannya.
Menurut hemat kami, meminta maaf secara umum adalah yang terbaik karena kalau disebutkan secara detail kesalahan yang dilakukan berpotensi akan semakin memperburuk suasana. Namun apabila dengan menyebutkan kesalahan itu secara detail tidak pihak yang dimintai maaf, maka itu akan lebih ideal.
_______________________________________________________________
Saya ZA saya mau tanya,seorang suami yg selalu merantau meninggalkan istri dan anak untuk mencari nafkah di luar negeri 1 thn sekali balik. Karena di jaman sekarang yg serba canggih ini org dapat berhubungan dg org lain melalui internet, jadi akhirnya sang suami banyak mempunyai kawan2 trutama perempuan, oleh karena sang istri mengetahui semua kejadian sang suami alami, akhirnya istri marah dan selalu mencaci maki padahal suami sudah minta maaf dan tidak lagi berbuat seperti dulu. tapi istri tetap saja tdk mau menerima kenyataan.
Yang saya tanyakan apakah seorang istri bisa masuk sorga tanpa ridonya sang suami.
Suami adalah pemimpin rumah tangga yang harus ditaati oleh istri selagi kepemimpinannya tidak bertentangan dengan syariah. Namun seuami juga perlu menampilkan dirinya sebagai sosok pemimpin yang memang layak dihormati.
Sikap istri Anda yang tidak mau memaafkan Anda itu dalam satu sisi justru positif karena itu artinya dia sangat mencintai Anda. Dan karena itu Anda sebaiknya menghadap seorang yang dapat dimintai nasehat dan meminta saran kepadanya agar istri Anda dapat memaafkan dan rumah tangga Anda dapat kembali normal.
Soal istri yang tidak bisa masuk surga, lihat artikel:
___________________________________________________________________
Assalamu'alaikum wr wb
Pada waktu SMA dan aktif di Sie Kerohanian Islam saya dikenalkan dengan
& Rotib al haddad dibaca setiap jum'at ba'da maghrib...sehingga sy merasa menyatu dgn rotib al haddad tsb. hingga sy di tunjuk teman2 untuk memimpin pembacaan rotib.
terlepas dari itu semua background ke islaman saya adalah Muhammadiyah ...
__________________________________________________________
salam. saya mau tanya ! sya menderita penyakit was was akhir2 ini entah kenapa, rasa-rasanya merasa bersalah terus dengan Allah dan Raasulnya...padalah gara2nya cuman kebaca kalimat2 yg menghina Allah dan nabi,,pdhl hati mnyangkal mngatakan itu,namun trus aja menghantui saya dg kata2 yg kurang sopan,,
sya sdh brusaha menambah aktifitas keagamaan, namun masih ada terlintas bisikan itu hingga akhirnya tiap hari saya mnyesal, apakah saya termaasuk orang yg beerdosa bsar kpd Allah ,pdhl sya sangt ingin mhilangkannya wassalm
mohon di jawab ustadz
Kalau memang kata-kata penghinaan yang keluar itu tidak disengaja dan di luar kendali Anda, maka tidak apa-apa. Nabi bersabda dalam sebuah hadits: رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يبلغ، وعن المجنون حتى يعقل
Artinya: Ada 3 keadaan yang apabila melakukan kesalahan tidak dicatat: orang yang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai akil baligh, orang gila sampai sembuh.
Namun, begitu ingat Anda hendaknya segera mengucap istighfar kepada Allah.
Akan tetapi karena yang terjadi pada Anda itu semacam penyakit, maka idealnya Anda berkonsultasi ke psikiater atau psikolog untuk mendapat terapi. Di sampng rajin ibadah shalat yang 5 waktu plus
untuk meminta kesembuhan.
_________________________________________
assalamualaikum wr.wb
ustadz aaya pemuda berumur 19 tahun yang sering melakukan maksiat yaitu berupa menjalin hubungan dengan lawan jenis yang disebut pacaran. tp saya suatu ketika pernah mengingkari keharaman dari pacaran tersebut. dan saya tau apabila mengingkari hukum dapat menyebabkan murtad.
peryltanyaan saya. -> Topik ini sudah
______________________________________________________
Diantara perkara yang dapat melanggengkan hafalan yaitu meninggalkan kemaksiyatan, Yang saya tanyakan, bagaimana halnya dengan orang non muslim, apakah mereka juga lupa dengan ilmunya? Atau bagaimana? Mohon maaf bila ada kesalahan
Apa yang Anda katakan bahwa berbuat maksiat dapat menghilangkan atau mengurangi hafalan itu betul. Seperti kata sebuah syair yang konon dibuat oleh Imam Syafi'i [1] dalam syairnya
شكوت إلى وكيع سوء حفظي فأرشدني إلى ترك المعاصي أخبرني بأن العلم نور ونور الله لا يُهدى لعاصي
Artinya: Aku melapor pada Waki' tentang buruknya hafalanku / Dia memberi petunjuk agar menjauhi maksiat.
Dia memberitahuku bahwa ilmu itu adalah cahaya / Dan cahaya Allah tidak diberikan pada pelaku maksiat.
Hafalan itu berbeda dengan pemahaman. Hafalan membutuhkan konsentrasi dan fokus yang sangat tinggi sedang perbuatan maksiat akan dapat mengurangi fokus seseorang karena adanya perasaan dosa dan problema yang lain.
Namun demikian, kita semua tahu bahwa manusia memiliki daya ingat dan daya hafal yang berbeda sejak dia lahir baik dia kafir atau muslim. Orang kafir yang memang ditakdirkan memiliki daya hafal kuat tentu sedikit banyak akan terpengaruh dengan perilaku dosa yang dilakukan, tetapi kekuatan daya hafalnya yang tinggi akan membuatnya tetap mampu untuk melakukan hafalan dengan baik. Begitu juga, seorang muslim yang memiliki daya hafal lemah tetap akan sulit menghafal walaupun dia berusaha tidak melakukan maksiat karena memang IQ yang dimilikinya rendah.
Contoh, si A yang nonmuslim memiliki IQ 130, kalau dia melakukan dosa mungkin akan mengurangi daya hafalnya menjadi, katakalah, 129. Itu masih terhitung tinggi. Sementara si B yang muslim punya IQ di bawah 100. Bagaimanapun taatnya pada ajaran Islam, tetap saja dia tidak akan dapat mengejar daya hafal dan daya ingat yang dimiliki oleh si A yang nonmuslim.
__________________________________________________
Agar Ibadah dan Doa Diterima Allah SWT
1. bagaiamana cara agar ibadah kita diterima oleh Allah SWT?
2. dan bagaimana agar doa kita dikabulkan oleh Allah SWT? ..
Didik (pertanyaan via Facebook.com/alkhoirot)
1. Khusyu' dalam melaksanakan ibadah. Dan ikhlas dalam mengamalkannya.
2. Ada dua unsur penting agar do'a dikabulkan Allah.
Pertama, berdo'a dengan sungguh-sungguh dan resapi makna yang diucapkan.
Kedua, wujudkan apa yang terucap dalam do'a dalam bentuk usaha yang serius dan kerja keras.
[1] Sebagian pendapat menyatakan bahwa syair tersebut dibuat oleh Ali bin Khashram. Bukan Imam Syafi'i. Karena Waki' bukan guru dari Imam Syafi'i.
_____________________________________________________